note : BUNGLON_08: 2011

LAPORAN BEASISWA 2010

LAPORAN BEASISWA 2010
PT. INDONESIA POWER

A. Latar Beelakang
Bismillahirrohmanirohim. Puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas segala Rahmat dan HidayahNya sehingga mampu memberikan kekuatan kepada kami untuk bisa melaksanakan aktivitas sehari-hari dengan penuh barokah. Sholawat serta salam tetap kita haturkan kehariba'an Sang revolusioner dunia baginda Rasulallah Muhammad Saw. Yang telah membawa kita keluar dari zaman jahiliah hingga kita bisa merasakan pendidikan yang layak kita peroleh.
Harus diakui bahwa akulturalisasi peran sumber daya manusia sangat penting dan cukup menentukan serta menjadi prioritas sendiri, maka perlu merealisasikannya dengan memberikan perhatian dan pembinaan yang serius pada sektor intelektualitas. Perhatian khusus adalah penekanan motivasi para kader generasi muda daerah untuk terus melanjutkan jenjang pendidikannya secara kontiniutas dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektualisasinya serta mampu beraktivitas secara profesional yang tinggi sehingga mereka dapat membuktikan eksistensinya sebagai “Khalifah fil Ardh“ dimanfaatkan secara optimal.
Oleh karena itu, semua pihak instansi maupun kelompok masyarakat diharapkan dapat melakukan aktivitasnya secara nyata dalam rangka mencapai tujuan itu.  Selayaknya kita berbuat riil dengan kemampuan yang dimiliki baik secara materi maupun non materi.  Dasar keinginan ini dalam rangka amanah UUD 1945 yang telah dituangkan dalam GBHN. Di mana pembinaan Sumber Daya Manusia sudah seharusnya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sejak Repelita VI dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Di satu sisi di sadari pula bahwa peningkatan SDM ini dalam realita pelaksanaanya dirasakan sangat berat karena disamping membutuhkan biaya yang banyak juga memakan waktu yang lama. Untuk itu kita semua dituntut untuk mempunyai tekad yang sungguh-sungguh dan semangat juang yang tinggi serta menyatakan pendapat yang sama, keinginan yang sejalan bahwa peningkatan kulitas SDM merupakan suatu yang sangat penting dan menjadi tanggung jawab kita bersama.
Untuk itu dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas perlu melakukan beberapa langkah strategis, diantaranya melalui jenjang pendidikan formal. Maka perlu di sadari bahwa kualitas kemampuan intelegansi serta cara berfikir (thinking) seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang telah dilaluinya. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, sudah barang tentu semakin tinggi kemampuan berpikirnya, karena sulit untuk dibantah, bahwa dunia pendidikan dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan kecerdasan seseorang serta diharapkan mampu memanfaatkan sarana yang ada mengolah sumber yang tersedia dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
Dalam kesempatan kali ini kami ucapkan beribu terimah kasih terhadap PT. INDONESIA POWER yang telah memberikan Bea Siswa atas:
Nama                           : Multazamudz Dzikri
Alamat                                    : Jatirejo Lekok Pasuruan
Status                          : Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Surabaya
Nomor Telepon           : 0857 5588 3384
sehingga kami dapat terus belajar dengan baik berkat bantuan yang telah kami terima dari PT. IDONESIA POWER.

B.  Kegiatan Perkuliyahan
            Tiada terasa proses kegiatan belajar kami di Perguruan Tinggi sudah  mencapai angka 3 tahun dihitung sejak agustus 2008. Perjalan belajar kami awalnya tidak bisa semulus bak mahasiswa yang lain, karena factor biaya yang melambung tinggi di kota Pahlawan sedikit menjadi kendala bagi kami untuk bisa bersaing. Mengingat pergulatan dunia pendidikan bak kompetisi dalam sebuah proses belajar, maka dari itu banyak cara yang harus dilakukan seperti memperbanyak belajar, menambah referensi, konsetrasi belajar dll.
            Era modern adalah tuntutan bafgi mahasiswa untuk bisa lebih unggul dalam prestasi. Alhamdulillah setelah 2x mendapat beasiswa dari PT. INDONESIA POWER kami lebih bisa konsentrasi belajar tanpa harus memikirkan biaya hidup, biaya kuliyah, dan tambahan referensi.  Semua kemajuan ini kami buktikan melalui kenaikan indeks prestasi (IP) yang mana pada semester kemaren kami mendapat nilai 3,5 untuk semester ini sedikit ada kenaikan dari IP = 3,5 menjadi IP = 3,54.
            Mengingat pengetahuan di dunia  kampus metropolis ilmu tidak hanya di dapat dari bangku perkuliyah, maka kami juga berusaha semaksimal mungkin dengan aktif di beberapa organisasi baik intra kampus maupun ekstra kampus. Sehingga, selain disibukkan dengan kuliyah kami juga bisa berproses melalui beberapa organisasi antara lain:
  • Forum Komusikasi Mahasiswa Kependidikan Islam (FKMKI) Jatim, Sebagai Ketua Umum.
  • Pimpinan Redaksi Buletin ENTITAS
  • SEMA FT, Sebagai Kepala Departement Pendidikan Senat Mahasiswa Tarbiyah
  • PMII Cabang Surabaya Selatan, Sebagai Koordinator bidang Pengkaderan.
Perolehan nilai yang kami raih tidaklah semuda membalikkan telapak tangan, karena kami juga harus membagi waktu antara kuliyah dengan organisasi.

C. Kegiatan Di Luar Kampus
            Hidup di kota Metropolis tidaklah muda, apalagi kami sebagai awam yang berasal dari kawasan santri Lekok, pastinya kami sedikit kaku dengan dunia remaja yang ada di Kota Pahlawan ini, sehingga kami harus benar-benar menjaga image sebagai pemuda yang berasal dari kawasan kota santri.
            Maka dari itu orang tua kami memilih untuk memasukkan kami disalah satu pondok pesantren mahsiswa yang ada disana. Tujuannya jelas mempertahankan batasan sebagai remaja yang masih ta'at beragama. Selain itu kami juga berkesempatan untuk bisa menimbah ilmu di pesantren tersebut.







D. Pengeluaran Biaya Kuliyah
No.
Jenis pengeluaran
Jumlah
1.
Biaya semester
Rp.  1.200.000,00
2.
Biaya Pesantren
Rp.     600.000,00
3.
Biaya pengada'an referensi
Rp.     800.000,00
4.
Biaya kebutuhan PPL
Rp.  1.000.000,00
5.
Biaya Hidup
Rp.  1.000.000,00

total
Rp.  4.500.000,00

E. Transkip Nilai Semester
Terlampir

F. Surat Keterangan Aktif Kuliyah
Terlampir

E. Penutup
Demikianlah laporan ini kami buat, semoga dapat dijadikan pertimbangan atas perhatian dan bantuan Bapak, saya ucapkan terimakasih. Selanjutnya, apabila terdapat kekurangan dalam laporan ini, akan kami lampirkan di kemudian hari. Akhirnya apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan, kami mohon ma’af dan terima kasih.


      Hormat Kami,


Multazamudz Dzikri.
read more “LAPORAN BEASISWA 2010”

Aristoteles

Biografi Aristoteles
Aristoteles lahir di Stagira (Stagirus) tepi Thrace yang sekarang merupakan bagian Yunani. Ia merupakan anak dari seoranga tabib istana, Nichomachus. Ayah Aristoteles sendiri meninggal saat Aristoteles masih kecil. Selanjutnya Aristoteles di asuh oleh Proxenus. Pada umur 18 tahun, Aristoteles masuk ke Akademi Plato sebagai seorang siswa untuk pertama kalinya dan kemudian menjadi guru. Aristoteles juga menjadi tutor untuk Alexander Agung,. Guru Aristoteles saat itu tidak lain adalah Plato, orang yang pengaruhnya juga kita rasakan sampai sekarang. Aristoteles menghabiskan 20 tahun berguru pada Plato.
Tahun 347 SM saat Plato meninggal, Aristoteles sebenarnya merupakan kandidat kuat untuk menggantikan posisinya. Namun cara pandang Aristoteles saat itu sedikit bertentangan dengan Plato, sehingga yang dipilih adalah kemenakan laki-laki Plato yang bernama Speusippus.
Aristoteles menikah dengan Phithias, kemenakan perempuan dari raja Mysia saat itu.  Pernikahan keduanya dengan Herphyllis yang membirinya anak bernama Nichomachus. Saat invasi raja Philip dari Macedonia, Aristoteles menerima perintah dari Raja Macedonia itu, untuk mengajari anaknya yang berusia 13 tahun, Alexander (Kemudian dikenal sebagai “The Great Alexander”-Alexander Agung). Aristoteles sangat dijunjung tinggi baik oleh sang Raja atau anaknya. Bahkan sempat dikabarkan bahwa Aristoteles bukan hanya menerima uang untuk kepentingan belajarnya itu, tapi juga ribuan budak yang ditugaskan untuk mengumpulkan berbagai spesies demi penelitiannya.
Saat Raja Philip meninggal, dan sudah waktunya bagi Alexander untuk menguasai kerajaan, saat itu juga Aristoteles memutuskan untuk kembali ke Athena, kota yang ia tinggalkan saat kematian Plato. Dan kemudian ia mendirikan sekolah yang dinamakannya Lyceum. Saat mengajar di Lyceum, Aristoteles punya kebiasaan berjalan / mondar-mandir saat memberi pidato atau ceramah. Ini memberi dampak pada murid-muridnya yang kemudian disebut peripatetics, atau “to walk about”.
Ketika Alexander Agung akhirnya meninggal pada tahun 323 SM dan pengaruh Macedonia hancur, Aristoteles sebagai seorang yang berkaitan dekat dengan keluarga kerajaan Macedonia merasa terancam dan akhirnya pindah ke Chalcis di Euboea.  Setahun setelah kepindahannya di Chalcis, ia menderita sakit perut akut yang menhantarkan  dia pada kematian pada tahun 322 SM.
Pemikiran Aristoteles Tentang:
Filsafat
Pemikiran kefilsafatan memiliki cirri-ciri khas (karateristik) tertentu, sebagian besar filosof berbeda pendapat mengenai karateristik pemikiran kefilsafatan. Apabila perbedaan pendapat tersebut dipahami secara teliti dan mendalam, maka karateristik pemikiran kefilsafatan tersebut terdiri dari:
a. Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, pemikiran yang meliputi beberapa sudut pandang. Pemikiran kefilsafatan meliputi beberapa cabang ilmu, dan pemikiran semacam ini ingin mengetahui hubungan antara cabang ilmu yang satu dengan yang lainnya. Integralitas pemikiran kefilsafatan juga memikirkan hubungan ilmu dengan moral, seni dan pandangan hidup.
b. Mendasar, artinya pemikiran mendalam sampai kepada hasil yang fundamental (keluar dari gejala). Hasil pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar berpijak segenap nilai dan masalah-masalah keilmuan (science).
c. Spekulatif, artinya hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran-pemikiran selanjutnya dan hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai medan garapan (obyek) yang baru pula. Keadaan ini senantiasa bertambah dan berkembang meskipun demikian bukan berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah selesai seperti ilmu-ilmu diluar filsafat.
Menurut Aristoteles filsafat ilmu adalah sebab dan asas segala benda. Oleh karena itu dia menamakan filsafat sebagai teologi. Filsafat sebagai refleksi dari pemikiran sistematis manusia atas realitas dan sekitarnya, tentunya tidak berdiri sendiri, tidak tumbuh diruang dan tempat yang kosong. Lingkungan keluarga, sosial alam dan potensi diri akan ikut mempengaruhi seseorang dalam melakukan refleksi filosofis. Oleh karenanya dalam sejarah pemikiran manusia terdapat tokoh pemikir ataupun filosof yang selalu saja muncul dari zaman ke zaman dengan tema yang berbeda-beda. Aristoteles (381 SM-322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
A. Pembagian filsafat menurut Aristoteles
1. Logika yaitu tentang bentuk susunan pikiran.
2. Filosofia teoritika yang diperinci atas
a. Fisika yaitu tentang dunia materiil (ilmu alam dan sebagainya)
b. Matematika yaitu tentang barang menurut kuantitasnya.
c. Metafisika yaitu tentang ada.
3. Filosofia praktika, tentang hidup kesusilaan (berbuat)
a. Etika yaitu tentang kesusilaan dalam hidup perorangan.
b. Ekonomi yaitu tentang kesusilaan dalam kekeluargaan.
c. Politika yaitu tentang kesusilaan dalam hidup kenegaraan.
4. Filosofia poetika/aktiva (pencipta)

Fisafat kesenian.
Pembagian ini meliputi seluruh ilmu pengetahuan waktu itu, jadi apa yang sekarang dipandang termasuk ilmu pengetahuan, dimasukkan didalamnya (khususnya bagian fisika). Sekarang dengan tugas dibedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Maka pembagian filsafat seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles telah ketinggalan, jadi harus disesuaikan dengan perkembangan modern.
Logika
Penemuan Aristoteles yang terbesar dalam bidang logika adalah silogisme (syllogismos). Silogisme maksudnya uraian berkunci, yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan yang umum atas hal yang khusus. Menurut Aristoteles, pengatahuan baru dapat dihasilkan melalui dua cara: pertama induksi, yaitu dengan bertolak dari kasus-kasus khusus, menghasilkan pengatahuan tentang yang umum. Kedua deduksi. Deduksi bertolak dari dua yang tidak disangsikan dan atas dasar itumenyimpulkan kebenaran yang ketiga. Cara deduksi inilah yang disebut silogisme.
Induksi tergantung pada pengatahuan indrawi, sedangkan deduksi atau silogisme sama sekali lepas dari pengatahuan indrawi. Itulah sebabnya Aristoteles menganggap deduksi sebagai cara sempurna menuju pengatahuan baru.
Alam
Kosmos terdiri dari dua wilayah yang sifatnya berbeda. Wilayah sublunar (di bawah bulan, maksudnya bumi) dan wilayah yang meliputi bulan, planet dan bintang. Ia juga beranggapan bahwa jagat raya terbatas, berbentuk bola dan jagat raya tidak mempunyai permulaan dalam waktu dan tidak mempunyai akhir, kekal.
Bumi dan isinya terdiri dari empat unsur: api, udara, tanah dan air. Sedangkan selain bumi hanya terdiri dari satu unsur, yaitu aether. Penggerak pertama adalah yang tidak digerakkan.
Etika
Eodaemonie (kebahagiaan) adalah merupakan tujuan tertinggi dalam kehidupan manusia. Unsur terpenting dalam kebahagiaan manusia ialah ketika ia menjalankan aktifitas yang spesifik baginya, yaitu pikiran. Bagi manusia, kebahagiaan ialah memandang kebenaran (theoria; kontemplasi).
Yang menjadi ukuran ialah gunanya yang peraktis. Tujuan berpikir atau memandang kebenaran bukan sekedar mengatahui, melainkan berbuat. Bukan untuk mengatahui apa budi itu, melainkan supaya menjadi orang yang berbudi.

Politik
Ada tiga bentuk Negara: Monarki, lawannya Tirani Aristokrasi, lawannya Oligarki Politeia, lawannya Demokrasi
Metafisika
Metafisika berpusat pada persoalan “barang” dan “bentuk”. Bentuk dikemukakan sebagai pengganti pengertian Dunia Idea Plato yang ditolaknya. Berbeda dengan Plato yang memisahkan Idea dan kenyataan lahir, Aristoteles beranggapan bahwa bentuk ikut serta memberikan kenyataan kepada benda. Benda dan bentuk tak dapat dipisahkan. Barang ialah materi yang tidak mempunyai bangun, substansi belaka. Bentuk ialah bangunnya.
Psikologi
Jiwa dan benda adalah dua aspek yang menyangkut satu substansi saja. Dua aspek ini mempunyai hubungan satu sama lain sebagai hubungan satu sama lain sebagai materi dan bentuk. Sebagaimana semua makhluk fisis terdiri dari materi dan bentuk, demikian pula makhluk fisis yang mempunyai psyche (makhluk yang hidup) terdiri dari materi dan bentuk. Benda adalah materi dan jiwa adalah bentuknya
Negara
“Setiap negara adalah kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik. Namun, jika seluruh masyarakat bertujuan pada kebaikan, negara atau masyarakat politik memiliki kedudukan tertinggi dari yang lain dan meliputi elemen-elemen penunjang lainnya, serta bertujuan pada kebaikan yang tertinggi.”
Antropologi
Filsafat Aristoteles tentang manusia sebetulnya tidak begitu terang seperti ajarannya tentang hal-hal diatas. Baginya manusia itu hal yang istimewa ia membeda-bedakan ada menurut kesempurnaan masing-masing. Ada terdapat ada segitu saja seperti logam dan lain-lain, terdapat pula ada hidup vegetatif, seperti tumbuh-tumbuhan, terdapat pula yang kecuali ada dan hidup vegetatif masih berasa, jadi sensitif, seperti binatang. Manusia disamping kesempurnaan ada yang ketiga diatas itu masihlah pula berbudi. Manusia tidak hanya ada saja dan pula hidup vegeatif serta sensitif, melainkan juga rasionil. Baginya yang sensitif dan vegetatif itu kena rusak maka karena itu akan mati, adapun rasionil tidaklah kena mati, karena merupakan roh. Bagian yang roh dan bagian yang mendukung budinya ini akan terus ada, setelah manusia meninggal. Menurut Aristoteles tujuan tertinggi yang dicapai ialah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan ini bukan kebahagiaan yang subjektif, tetapi suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang termasuk keadaan bahagia itu terdapat pada manusia. Tujuan yang dikejar adalah demi kepentingan diri sendiri, bukan demi kepentingan orang lain. Isi kebahagiaan tiap makhluk yang berbuat ialah, bahwa perbuatan sendiri bersifatnya khusus itu disempurnakan. Jadi kebahagiaan manusia terletak disini, bahwa aktifitas yang khas miliknya sebagai manusia itu disempurnakan. Padahal cirri khas manusia ialah bahwa ia adalah makhluk rasional. Jadi puncak perbuatan kesusilaan manusia terletak dalam perkiraan murni. Kebahagiaan manusia yang tertinggi, yang dikejar oleh tiap manusia ialah berpikir murni. Tetapi puncak itu hanya dicapai oleh para dewa, manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengan mengatur keinginannya. Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu “berubah” (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan. Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji zogol, dan zokigol keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata, berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal. Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih “hylemorfisme”: apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material (“hyle”) sana-sini dari bentuk (“morphe”) yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan (“dynamis”, Latin: “potentia”) untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang “tetap” dan yang “berubah”.
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah “pria yang belum lengkap”. Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah “ladang”, yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah “yang menanam”. Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan “bentuk”, sedang wanita menyumbangkan “substansi”. Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama “jiwa” (“psyche”, Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat “mengamati” dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup “mengerti” dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan “nous” (Latin: “ratio” atau “intellectus”) yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima “logoz”. Itu membuat manusia memiliki bahasa. Pemikiran Aristoteles merupakan harta karun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, — itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas. Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon (“alat”) untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
Abstraksi
Idea tidaklah merupakan realitas tersendiri didunia sendiri, melainkan sifat-sifat yang sama terdapat pada hal-hal yang kongkrit. Oleh karena semua hal yang semacam itu memiliki sifat itu, maka umumlah, oleh karena semua hal yang semacam itu harus memiliki sifat itu, maka mutlaklah ia, tetap tak berubah.
Aktus dan Potensia
Pontesia ialah dasar kemungkinan, sedangkan aktus ialah dasar kesungguhannya. Barang sesuatu mungkin karena potensinya. Ia sudah ada karena aktusnya. Dalam hal yang konkrit itu maka hule merupakan potensia sedangkan morfenya merupakan aktus.

Ontologia
Ajaran Aristoteles tentang fisika dan metafisika umum (ontologia) tidak selalu dapat dibeda-bedakan atau dipisah-pisahkan. Yang penting bagi kita ialah metafisikanya. Menurutnya yang sungguh-sungguh ada itu bukanlah yang umum, melainkan yang khusus, satu per satu.

Hule dan Morfe
Unsur yang menjadi dasar permacam-macaman ini disebut oleh Aristoteles hule, adapun unsur kesatuan itu sebutnya morfe. Tiap-tiap benda yang konkrit terdiri dari hule dan morfe, karena hulenya maka benda itu benda itulah (bukan benda yang lain), karena morfenya mempunyai inti dan dari itu termasuk pada suatu macam dan dapat ditangkap oleh budi. Jadi menurut saya hule dan morfe saling mengisi dan ada keterkaitannya. Hule dan morfe ini merupakan satu kesatuan dan tak dapat dipisahkan, tak ada hule tanpa morfe, begitu pula sebaliknya.


Julukan:
- Ahli filsafat terbesar di dunia sepanjang zaman.
- Bapak peradaban barat.
- Bapak ilmu pengetahuan atau guru (nya) para ilmuan.
read more “Aristoteles”

Plato


Biografi Plato
Plato adalah seorang tokoh dunia, filsuf Yunani klasik yang sangat berpengaruh, Ia murid Socrates, guru dari Aristoteles, seorang penulis produktif, dan pendiri Akademi Athena. Ia adalah pelopor filosof politik Barat dan sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika. Pendapat-pendapatnya di bidang ini sudah terbaca luas lebih dari 2300 tahun. Plato, seorang philodorian, kuliah secara intensif di Akademi, dan banyak menulis tentang masalah filsafat. Eksistensinya bertahan melalui tulisan populernya yang dipertahankan dalam berbagai manuskrip, disunting dalam berbagai edisi dan terjemahan. Tulisan Plato berjudul corpus hampir seluruhnya berupa dialog, epigram dan huruf. Plato lahir di Athena sekitar tahun 427 SM, dari keluarga bangsawan cukup terkenal. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya Perictione. Nenek moyang Plato, Glaucon, adalah salah satu bangsawan paling terkenal di Athena. Plato dilahirkan di Atena pada tahun 427 S.M. dan meninggal disana pada tahun 347 S.M. dalam usia 80 tahun. Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang turun-temurun memegang politik penting dalam politik Atena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan padanya untuk mengikuti jalan hidup yang diingininya itu. Namanya bermula ialah Aristokles. Nama plato diberikan oleh gurunya. Ia memperoleh nama itu berhubung dengan bahunya yang lebar.
Sepadan dengan badannya yang tinggi dan tegap raut mukanya, potongan tubuhnya serta parasnya yang elok bersesuaian benar dengan ciptaan klasik tentang manusia yang cantik. Bagus dan harmoni meliputi seluruh perawakannya. Dalam tubuh yang besar dan sehat itu bersarang pula pikiran yang dalam dan menembus. Pandangan matanya menunjuk seolah-olah ia mau mengisi dunia yang lahir ini dengan cita-citanya. Pelajaran yang diperolehnya dimasa kecilnya, selain dari pelajaran umum ialah menggambar dan melukis disambung dengan belajar musik dan puisi. Sebelumdewasa ia sudah pandai membuat karangan yang bersanjak. Sebagaimana biasanya dengan anak orang baik-baik di masa itu plato mendapat didikan dari guru-guru filosofi. Pelajaran filosofi mula-mula diperolehnya dari kratylos. Kratylos dahulunya murid herakleitos yang mengajarkan “semuanya berlalu” seperti air.
Pemikiran Plato
Ajaran tentang Idea.
Intisari dari pada filosofi plato ialah pendapatnya tentang idea. Itu adalah suatu ajaran yang sangat sulit memahamkannya. Salah satu sebab ialah bahwa pahamnya ten tang idea selalu berkembang. Bermula idea itu dikemukakan sebagai teori logika. Kemudian meluas menjadi pandangan hidup, menjadi dasar umum bagi ilmu dan politik social dan mencakup pandangan agama. Plato memisahkan kenyataan yang kelihatan dalam alam yang lahir, dimana berlaku pandangan Herakleitos, dan alam pengertian yang abstrak dimana berlaku pandangan Parmenides. Dalam bidang yang pertama yang ada hanya kiraan. Sebab kalau semuanya mengalir dengan tidak berhenti-hentinya, tiap barang bagi tiap orang pada setiap waktu hanya berupa seperti yang terbayang dimukanya. Maka manusia menjadi ukuran dari segalanya, seperti dikatakan oleh protagoras. Tetapi pengetahuan dapat memberikan apa yang tetap adanya, yaitu idea. Berlakunya idea itu tidak bergantung kepada pandangan dan pendapat orang banyak. Ia timbul semata-mata karena kecerdasan berfikir. Pengertian yang dicari engan pikiran ialah idea. Idea pada hakikatnay sudah ada, tinggal mencarinya saja. Pokok tinjauan filosofi plato ialah mencari pengetahuan ten tang pengetahuan. Ia bertolak dari ajaran gurunya sokrates yang mengatakan “budi ialah tahu”. Budi yang berdasarkan pengetahuan menghendaki suatu ajaran tentang pengetahuan sebagai dasar filosofi. Pertentangan antara pikiran dan pandangan menjadi ukuran bagi plato. Pengertian yang mengandung didalamnya pengetahuan dan budi, yang dicarinya bersama-sama dengan sokrates, pada hakekat dan asalnya berlainan sama sekali dari pemandangan. Sifatnya tidak diperoleh dari pengalaman. Pemandangan hanya alasan untuk menuju pengertian. Ia diperoleh atas usaha akal sendiri. Idea menurut paham plato tidak saja pengertian jenis, tetapi juga bentuk dari pada keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Pendapat Parmenides tentang adanya yang satu kekal, dan tidak berubah-ubah. Tetapi yang baru dalam ajaran plato ialah pendapatnya ten tang suatu dunia yang tidak bertubuh. Filosofi grik sebelumnya dia tidak mengenal gambaran dunia dunia semacam itu. juga adanya dalam pikiran Parmenides, yang mengisi yang sepenuh-penuhnya, sehingga di sebelah adanya tidak ada lagi tempat yang kosong, masih merupakan sesuatu yang bertubuh.
Dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan dan pengalaman. Dalam semua itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Dari pandangan dan pengalaman saja tidak akan pernah tercapai pengetahuan pengertian. Berhadapan engan itu terdapat dunia yang tidak bertubuh dari pada idea, yang lebih tinggi tingkatnya dan yang menjadi obyek dari pengetahuan pengertian apabila pengertian yang dituju itu memperoleh bentuknya yang tepat, ia tidak berubah-ubah lagi dan bertempat didalam dunia idea. Idea itulah yang melahirkan pengetahuan yang sebenarnya. Pada gambaran plato tentang dunia yang dua itu terdapat tingkat yang mempertalikan buah pikiran filosofi yang lama. Ajaran herakleitos ten tang semuanya mengalir dimana tak ada yang tak tetap dapat ditampung dalam dunia plato yang bertubuh. Dunia yang kelihatan berisikan badan-badan yang bertubuh. Dunia yang kelihatan berisikan badan-badan yang bertubuh, yang menjadi obyek pemandangan dan pengalaman yang berjenis rupa dan berubah senantiasa disebutnyadunia herakleitos yang selalu dalm kejadian. Disitu didapati terus-meneris timbul dan hilang dengan tidak ada yang tetap. Pikiran parmeides yang bersendi pada adanya satu dan tetap yang meniadakan yang kelihatan banyak dan berubah-ubah dapat ditempatkan dalam dunia plato yang tidak bertubuh, dunia idea. Dalam konsepsi plato dunia yang bertubuh dan dunia yang tidak bertubuh terpisah sama sekali. Ini kelanjutan daripada pendapatnya ten tang perbedaan antara pikiran dan pandangan. Pengetahuan dengan pengertian hanya mengenal dunia yang ada dan tidak menjadi. Pandangan dan pengalaman mengenal dunia yang selalu menjadi. Tetapi dunia yang bertubuh tidaklah semata-mata berdiri sendiri. Ada hubungannya dimana-mana dengan dunia yang tidak bertubuh, dunia idea, yang memberikan makna dan tujuan kepada dunia yang lahir.
Menurut plato pengertian yang sebanyak itu menunjukkan banyaknya jenis idea. Terhadap tiga pengertian yang bersangkutan dengan barang, sifat, hubungan, ada idea yang bertepatan. Tetapi seluruh dunia idea itu merupakan satu kesatuan yang didalamnya terdapat pertingkatan derajat. Idea yang tertinggi ialah idea kebaikan, sebagai Tuhan yang membentuk dunia. Plato menyamakannya dengan matahari yang menyinari semuanya. Idea kebaikan tidak saja sebab timblnya tujuan pengetahuan dalam dunia yang lahir, tetapi juga sebab tumbuh dan kembang segala-galanya. Idea kebaikan dalah pokok. Karena dunia idea tersusun menurut sistem teleology “suatu susunan yang teratur tepat menurut tujuan yang sudah tertentu. Karena sinar yang memancar dari idea kebaikan, semuanya tertarik padanya dank arena itu ia jadi sebab tujuan dari segala-galanya. Dalam dunia yang asal ia sebab dari adanya daripengetahuan. Tetapi sebab itu pada hakekatnya tidak lain dari pada tujuan”. Dalam sistem hirarki itu dibawah idea kebaikan berada jiwa dunia yang tidak bertubuh masukke dunia dan menggerakkannya. Kemudian idea keindahan yang rapat sekali hubungannya dengan idea yang tertinggi. Ia adalah suatu bentuk yang terutama daripada bayangan yang baik dalam dunia yang nyata. Cahaya dari yang indah itulah yang menjadikan jiwa tajub dan rindu hendak kembali ke dunia yang asal. Yang indah menjadi penghubung yang bekerja kuat antara dunia yang tidak kelihatan dan dunia yang lahir. Jiwa yang indah yang menjelma dalam perbuatan menyelenggarakan adab, seni, dan ilmu, pendidikan dan usaha politik, akhirnya naik ke atas dalam bentuk indah dan murni, ketempat asalnya dalam dunia yang tidak bertubuh. Demikianlah seterusnya tersusun idea berturut-turut dalam urutan yang diliputi oleh kesatuan. Dalam ajaran plato tentang idea ada satu kosepsi yang ganjil rupanya, tetapi tetap duduknya, jika ditinjau dari caranya berpikir. Antara dunia yang bertubuh dan dunia yang tidak bertubuh dibentangkannya suatu daerah perpisahan yang netral. Daerah itu ialah daerah lukisan matematik : angka-angka dan bangunan ilmu ukur. Lukisan itu berbeda dengab dunia yang berubah-ubah dan sementara karena ia berlaku tetap untuk selama-lamanya. Sifatnya sama dengan idea. Ia berbeda dengan idea, karena bangunannya itu dapat dilihat dan berulang-ulang dilukiskan. Dalam hal ini ia serupa dengan barang-barang yang bertubuh. Lukisan matematik itu ada maknanya. Plato menggambarkan dengan itu suatu cara, bagaimana jiwa naik ke atas, dari dnia yang lahir kelihatan ke dunia idea. Yang tinggi-tinggi tidak dapat dicapai sekaligus dengan sekali lompat. Matematik adalah alat yang baik untuk meningkat berangsur-angsr dengan urutan yang tepat. Bimbingannya menuju dunia idea begitu baik menurut plato, sehingga diatas pintu masuk ke Akademia disuruhnya rekamkan kalimat : “orang yang tidak tahu matematik jangan masuk disini”.
Dari usaha Sokrates untuk menemukan essensi dari berbagai keutamaan yang dimiliki dan dilakukan oleh manusia, Plato memikirkan bahwa essensi itu mempunyai realitasnya sendiri, terlepas dari segala perbuatan konkrit. Dan itu disebutnya Idea. Apa yang dimaksud Plato dengan Idea? Idea adalah essensi imaterial atau model imaterial yang darinya  realitas material sebagai copynya, dapat kita lihat. Contohnya: gambar segitiga yang dapat  dilihat dan diukur dalam berbagai ukuran adalah copyan dari idea segitiga. Demikian juga dengan apa yang dapat dilihat sebagai “yang baik”, “yang indah” merupakan copyan dari idea baik, idea indah. Idea, dengan demikian bersifat obyektif, ada pada dirinya sendiri, tunggal dan kekal. Dari ajaran tentang Idea ini tema-tema filosofis Plato mengalir.
Dua Dunia
Menurut Plato, realitas seluruhnya terdiri dari dua “dunia”. “Dunia” benda-benda jasmani yang dapat ditangkap panca indera dan “dunia” Idea. Dunia benda-benda serba jamak, berubah dan tidak sempurna. Sedangkan dunia ideal itu kekal, tunggal (“yang baik” itu hanya ada satu, “yang indah” itu hanya ada satu), sempurna dan tidak berubah. Lalu bagaimana hubungan antar kedua “dunia” ini? Dunia idea mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Ada tiga cara Plato menjelaskan hubungan “kedua dunia” ini, yakni: Idea hadir dalam benda-benda jasmani, Benda-benda jasmani mengambil bagian dalam Idea (metexis), Idea merupakan model bagi benda-benda jasmani (paradeigma).
Ajaran tentang Manusia: tubuh dan jiwa
Filsafat Plato tentang manusia biasanya dinamakan “dualisme”. Maksudnya bahwa Plato tidak menerangkan manusia sebagai kesatuan yang utuh, tetapi memandang manusia sebagai “dualitas”. Menurut Plato, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwalah yang utama dan penting. Jiwa merupakan sesuatu yang kekal, berasal dari “dunia” idea. Sedangkan tubuh dipandang sebagai penjara bagi jiwa. Ada tiga bagian ( baca: fungsi) dari jiwa, yakni: bagian rasional, kehendak dan keinginan. Masing-masing bagian mempunyai keutamaan tertentu. Bagian keinginan mempunyai keutamaan pengendalian diri, bagian kehendak mempunyai keutamaan keberanian, dan bagian rasional mempunyai keutamaan kebijasanaan. Dan ada satu keutamaan lain lagi yang fungsinya menjamin keseimbangan ketiga bagian jiwa, yakni keadilan.
Ajaran tentang Moral
Sama seperti Sokrates, Bagi Plato tujuan hidup manusia adalah eudaimonia, “well-being”, hidup yang baik. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah hidup yang baik itu? Sementara orang menjawab hidup dalam kesenangan, Plato menekankan Virtue (keutamaan). Ia mau menunjukkan bahwa virtue bukanlah sekedar materi kebiasaan, tetapi lebih sebagai kodrat jiwa. Di atas telah disebutkan bahwa menurut Plato, pada manusia, jiwalah yang lebih utama daripada tubuh. Dan jiwa mempunyai tiga bagian. Dan masing-masing bagian jiwa mempunyai satu keutamaan sebagai kepenuhan fungsinya.  Maka kalau orang hendak mencapai tujuan hidupnya, yakni eudaimonia, “well being”, hidup yang baik, ia harus mencapai keutamaan-keutamaan yang merupakan kodrat jiwanya. Dengan kata lain, kalau orang ingin mencapai hidup yang baik, ia harus bijaksana, berani, mempunyai pengendalian diri dan adil. Ibaratnya, sebuah pisau disebut sebagi pisau yang baik kalau dapat memenuhi fungsinya sebagai pisau, yakni dapat memotong secara efektif.
Tetapi, menurut Plato, hidup yang baik itu bisa dicapai kalau manusia tinggal dalam polis, Negara.
Ajaran tentang Negara
Plato berpendapat bahwa teori politik sangat erat dengan filsafat moral. Plato menyadari bahwa negara sebagai “Man Writ Large”. Artinya, bahwa negara berkembang dari kodrat individu, individu secara  logis adalah awal dari sebuah Negara. Negara adalah intitusi alamiah karena mencerminkan struktur kodrat manusia.
Asal-usul Negara adalah cerminan dari kebutuhan ekonomi manusia karena Negara ada karena setiap individu tidak dapat mencukupi sendiri kebutuhan hidupnya. Semua orang mempunyai banyak kebutuhan (makanan, pakaian, rumah, pendidikan, kesehatan, dll), dan untuk memenuhi banyak kebutuhan itu diperlukan banyak skill, dan tak seorang pun mempunyai semua skill yang diperlukan untuk memenuhi banyaknya kebutuhan tersebut. Maka, harus ada pembagian kerja. Dari ide pembagian kerja ini, kemudian ada pembagian golongan dalam sebuah polis. Tiga golongan itu adalah: para penjaga, prajurit dan para pekerja yang menanggung kebutuhan ekonomi polis. Masing-masing mempunyai fungsi untuk bersama-sama membangun sebuah polis yang kuat. Para penjaga berfungsi sebagai pemimin polis, pembuat aturan yang baik. Para prajurit berfungsi sebagai penjaga keamanan, menjamin ketaatan warga kepada aturan dan pemimpin polis. Sedangkan fungsi para pekerja adalah  memenuhi kebutuhan ekonomi polis serta taat kepada aturan dan pemimpin polis.
Tiga golongan yang ada dalam polis ini adalah cerminan dari tiga bagian jiwa manusia.  Masing-masing mempunyai keutamaan yang identik supaya dapat mencapai tujuannya: hidup yang baik, negara yang baik. Karena keadilan adalah keutamaan umum moral manusia, maka keadilan adalah karakter dari negara yang baik.
Karya-karya Plato
Semua karya yang ditulis Plato berbentuk dialog. Dengan bentuk dialog ini, Plato mengekspresikan pikiran-pikirannya. Karya-karya Plato itu antara lain:
Apologia, Krition, Eutyphron, Kharmides, Lysis, Hippias , Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion, Politeia, Phaidros, Parmenides, Theaitetos, Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi.
.

read more “Plato”

ibnu rusyd


Biografi Ibnu Rusyd
Nama lengkap beliau adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, kelahiran Kordoba pada tahun 520 H, berasal dari kalangan keluarga yang terkenal keutamaannya dalam lapangan hukum Islam dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalus. Ayahnya adalah seorang hakim, dan datuknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd Al-Jadd adalah Kepala Hakim di Kordoba. Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi dalam studi-studi keislaman. Al Qur’an beserta penafsirannya, Hadits Nabi, Ilmu Fiqh, Bahasa dan Sastra Arab dipelajarinya dari para alim di zamannya. Dia mempelajari al-Muwattha’ langsung dari ayahnya dan menghapalnya. Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika dan filsafat serta ilmu pengobatan .

Karirnya dalam filsafat diraihnya melalui pergaulan dan belajarnya dari Ibnu Thufail yang membawanya dekat dengan Khalifah Abu Yusuf al-Mansur, yang kemudian memintanya untuk menuliskan ulasan-ulasan terhadap pemikiran-pemikiran Aristoteles. Tugas ini dikerjakannya selam beberapa tahun dan menjadikannya Pengulas Ulung terhadap karya-karya Aristoteles. Untuk itu, dia memperoleh julukan Al-Syarih (The Commentator).

Di akhir hayatnya, Ibnu Rusyd mengalami cobaan berat. Para ahli fiqh yang bekerja di istana khalifah memfitnahnya sehingga khalifah marah dan membuangnya ke Alesana (Lucenna), sebuah kota dekat Kordoba. Setelah bebas dari pembuangan, ia pindah ke Maroko dan wafat tahun 595

Pemikiran Ibnu Rusyd
  1. Agama dan Filsafat
Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi Al-Ghazali terhadap pemikiran mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang diantaranya dapat digolongkan sebagai pemikiran sesat dan kufur.
Terhadap reaksi dan sanggahan tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran mereka serta membenarkan kesesuain ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan imam Ghazali dengan argumen-argumen yang tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya.
Menurut Ibnu Rusyd, Syara’ tidak bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu pada hakikatnya tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya pencipta. Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang untuk mempergunakan akalnya, seperti yang jelas dalam irman Allah : “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar)tentang kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-Araf: 185) dan firman Allah suiarah Al-Hasyr: 2 yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil Itibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”. Bernalar dan ber’itibar hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan kias akali, karena yang dimaksud dengan I’tibar itui tiadak lain dari mengambil sesuatu yang belum diktahui dari apa yang belum diketahui.
Qyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib mempelajari kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah. Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.
Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.
Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.
Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi kufur.
Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.
Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing atau simbolm bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.
  1. Metafisika
a. Dalil wujud Allah
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.
b. Dalil ‘inayah (pemeliharan)
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana.
c. Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.

d. Dalil Gerak.
Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya.
Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
e. Sifat-sifat Allah.
Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
  1. Fisika
a. Materi dan forma
Seperti dalam halnya metafisika, ibnu rusyd juga di juga di pengaruhi oleh Aristoteles dalam fisika. Dalam reori Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (maujud) yang mengalami perubahan seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika adalah materi dan forma.
Menurut Ibn Rusyd, bahwa segala sesuatu yang berada di bawah alam falk terdiri atas materi dan forma. Materi adalah sesuatu yang darinya ia ada, sedangkan forma adalah sesuatu yang dengannya ia menjadi ada setelah tidak ada.
b. Sifat-sifat jisim.
Adapun sifat-sifat jisim ada empat macam, yaitu:
Ø Gerak
Ø Diam
Ø Zaman
Ø Ruang
c. Bangunan alam.
Para filosof klasik mengatakan, bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga gerak melingkar merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi azali. Dengan sebab gerak ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar. Karena jisim-jisim ini bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu planit yang bergerak melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga tidak ada kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri dari jisim-jisim samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari percampuran emoat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah benda-benda padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.
  1. Manusia
Dalam masalah manusia, Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsure materi dan forma.. jasad adalah materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yangmerupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari anggota-anggota. Untuk menjelaskan kesempurnaan jiwa tersebut, Ibnu Rusyd mengkaji jenis-jenis jiwa yang menurutnya ada lima:
· Jiwa Nabati
· Jiwa perasa
· Jiwa khayal
· Jiwa berfikir
· Jiwa kecendrungan

  1. Kenabian dan Mu’jizat
Allah menyampaikan wahyu kepada umat manusia melalui rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa orang itu Rasul Allah, ia harus membawa tanda yang berasal darinya, dan tanda ini disebut mukjizat. Pada seorang rasul, mukzizat itu meliputi dua hal yang berhubungan dengan ilmu dan yang berhubungan dengan amal. Dalam hal yang pertama, rasul itu memberitahukan jenis-jenis ilmu dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim diketahui oleh manusia. Suatu hal yang diluar kebiasaan pengetahuan manusia, sehingga ia tidak dapat mengetahuinya adalah bukti bahwa orang yang membawanya adalah rasul yang menerima wahyu dari Allah, bukan dari dirinya.
Ringkasnya Ibnu Rusyd membedakan dua jenis mukjizat: mukjizat ekstern yang tidak sejalan dengan sifat dan tugas kerasulan, seperti menyembuhkan penyakit, membelah bulan dan sebagainya. Dan mukjizat intern yang sejalan dangan sifat dan tugas kerasulan yang membawa syariat untuk kebahagiaan umat manuisia. Mukjizat yangpertama yang berfungsi sebagai penguat sebagai kerasulan. Sedangkan yang kedua sebagai bukti yang kuat tentang kerasulan yang hakiki dan merupakan jalan keimanan bagi para ulama dan orang awamsesuai dengan kesanggupan akal masing-masing.
  1. Politik dan Akhlak
Seperti yang telah disebut oleh plato, Ibnu Rusyd mengatkan, sebagai makhluk social, manusia perlu kepada pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan kepala pemerintah dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya dalam dunia filsafat, dimana ia telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan islam pada awalnya menurut Ibnu rusyd adalah sangat sesuai dengan teorinya tentang revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah muawwiyah yang mengalihkan pemerintahan menjadi otoriter.
Dalam pelaksanaan kekuasaan hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan sendinya yang esensial. Hal ini karena adil itu adalah produk ma;rifat, sedangkan kezaliman adalah produk kejahilan.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi kepada hakim dan dokter karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih dan tidak berrkurang.hal ini karena keutamaan itu sendiri mengandung dalam dirinya keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban.
Khusus tentang wanita , Ibnu rusyd sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara. Pada hakikatnya, anita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan. Dan jikapun ada, maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang saja. Dan jika dalam kerja, ia dibawa tingkat pria, tetapi iamelebihinya dalam bidang seni, seperti music. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan maju, selama tidak membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang membelenggu kebebasannya.
Pendapat ibnu rusyd tentang alam
Menurut, Ibnu Rusyd, terjadinya perbedaan pendapat tentang alam itu qodim atau ihdats d disebabkan karena perbedaan kaum teolog muslim dan fiolosof muslim dalam mengartikan kata al-ihdats dan qodim. Bagi teolog muslim, al-ihdats berarti menciptakan dari tiada sedangkan qodim berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab. Sedangkan bagi filosof muslim, kata al-ihdats berarti mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain, sedang kata qodim berarti sesuatu yang kejadiaannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir.
Dalam Fashal al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan perselisihan mereka tentang alam hanyalah
perselisihan dari segi semantic atau penamaan. Segala hal yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis :
a)Wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan arti wujudnya Pencipta dan diciptakan dari benda dan didahului oleh zaman.
b)Wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman.
c)Wujudnya karena sesuatu dan tidak berasal dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman.

Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’

Menurut Ibnu Rusyd, persesuaian dan perpaduan antar agama dan filsafat sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting dari filsafat Islam. Cara yang digunakan oleh Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius.

Dalam Fashl al-Maqaal, Ibnu Rusyd mengawali pembahasaannya dengan keharusan berfilsafat menurut Syara’. Menurut Ibnu Rusyd, filsafat berfungsi untuk mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya. Qur’an berkali-kali memerintahkan hal yang demikian, diantaranya dalam surat Al-A’raaf ayat 185 dan surat Al-Hasyr ayat 2 yang mengandung perintah i’tibar dan nazhar. Kedua ayat tersebut secara tegas memerintahkan untuk mengambil qiyas aqli atau qiyas aqli dan qiyas syar’i bersama-sama. I’tibar dan nazhar yang dimaksudkan dalam kedua ayat tersebut tidak lain adalah pengambilan sesuatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari sesuatu yang telah diketahui (ma’lum). Ini berarti, penyelidikan alam wujud tidak bisa tidak, mesti menggunakan qiyas aqli. Karena itu, penyelidikan yang bersifat filosofi menjadi suatu kewajiban.

Argumentasi Ibnu Rusyd tersebut, dapat dipahami secara logika, dengan mengikuti premis–premis yang disusun oleh Al-‘Iraqiy sebagai berikut : :

Premis minor  :
Penyelidikan filsafat secara nazhari aqli di alam ini bertujuan untuk mencapai ma’rifah kepada pembuatnya, yaitu Allah.

Premis mayor  :
Agama memerintahkan dan mewajibkan manusia untuk memperhatikan dan memikirkan penciptaan di alam ini agar manusia mengenal Tuhannya (Allah)

Konklusi :
Pengkajian filsafat dalam kerangka diatas adalah kewajiban, sepanjang kemampuan, yaitu dengan metode burhan (demontrasi)

Kalau seorang faqih berdasarkan ayat tersebut menetapkan adanya qiyas syar’i, maka berdasarkan ayat tersebut pula seorang filosof lebih berhak lagi untuk menetapkan adanya qiyas aqli. Bila dikatakan qiyas aqli adalah sebuah bid’ah, maka demikian pula halnya dengan qiyas syar’i, karena keduanya tidak terdapat pada masa permulaan Islam. Kalau pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh Syara’ maka seorang ahli pikir harus mempelajari logika dan filsafat. Untuk itu, karena filsafat telah berkembang sebelumnya dengan tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, maka mempelajari pemikiran para filosof terdahulu tersebut adalah suatu keniscayaan. Tidaklah mungkin bagi orang-orang yang datang kemudian membangun filsafat yang baru sama sekali dengan meninggalkan pemikiran-pemikiran filsafat yang telah berkembang sebelumnya.

Kritik Terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas, bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
1. Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
2. Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
3. Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran.
1. Harmonisasi agama dan filsafat
Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat. Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.
2. Qadimnya alam
Tentang qadimnya alam atau dalam bahasa filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua, lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh ­al-Qadim. Inilah alam keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats pula.
Makna – makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti kadim. Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd mengutip penjelasan al-Quran, surat Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat wujud sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan bentuk wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini Ibnu Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran. Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada, justeru tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.
3. Gambaran kebangkitan di akhirat
Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filsuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filsuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justeru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.
4. Pengetahuan Tuhan
Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’I yang terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’a tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahu yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya. Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’I tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’I berwujud seperti wujud saat ini.
Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya.
5. Kesalahan Al-Ghazali
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali atas kedua failasuf tidaklah definitif. Karena dalam bukunya “At-Tafriqah” bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam persoalan seperti ini, persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung pada kemampuan kias rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa dilakukan oleh kaum rashikhun fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’ yang meyeluruh dalam bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah bahwa orang-orang berselisih pendapat dalam persoalan yang pelik tersebut berhak mendapat pahala jika mereka benar, tetapi bisa dimaafkan jika mereka salah.
Kesalahan yang bisa dimaafkan demikian hanyalah kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan kaum yang dikaruniai pengetahuan khusus mengetahui takwil ketika mereka mempelajari persoalan-persoalan rumit yang diperintah syara’ untuk mempelajarinya. Adapun kesalahan oleh orang-orang selain kelompok ini, adalah dosa. Maka bagi kaum burhani ini melakukan takwil terhadap ajaran-ajaran yang memberi petunjuk untuk itu harus dilakukan, sebaliknya umat kebanyakan hanya diperintah mengambil makna lahir ayat, jika tidak akan menyebabkan kekafiran pada masing-masing mereka. Oleh sebab itu, larangan Al-Ghazali – terhadap semua orang – dalam melakukan kias rasional seperti dilakukan para filsuf dan filsafat mereka tidak tepat, karena bertentangan ajaran al-Quran.
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syari’ah
Salah satu pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama”. Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (at-tâmm al-ma`rifah).
Mengenai hal ini dituangkan dalam buku kecilnya yang berjudul Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (Kaitan filsafat dengan Syariat) ini menjelaskan tentang harmonitas antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan akhir (ghâyah) (Fasl al-Maqal, 1968: 58).
Menurutnya , belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adaya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl. Takwîl ini lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).
Apa itu takwîl? Takwîl menurut Ibn Rusyd adalah makna yang dimunculkan dari pengetahuan suatu lafal yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riil) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat majaz (metafor) ( Fash al-Maqâl…..: 32). Takwîl yang dimaksudkan Ibn Rusyd adalah pengambilan makna esoterik atau makna substansial yang dikandung oleh teks (lafal), jadi bukan mengambil makna eksoterik atau makna tekstual lafal tersebut.
Dalam hal ini, yang perlu digarisbawahi adalah perkataan Ibn Rusyd, bahwa, “…Capaian apapun yang dihasilkan oleh metode burhan tapi bertentangan dengan makna lahir teks-teks syariat, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan menurut aturan main pentakwilan bahasa Arab yang ada.” Juga pernyataannya, bahwa “…makna lahir apapun juga yang terdapat pada teks syari’at yang secara lahiriah bertentangan dengan susatu makna yang disimpulkan oleh metode burhan kemudian makna lahir syari’at itu diteliti dan ditelaah semua bagian dan partikelnya, pada teks-teks syari’at itu sendiri akan dapat ditemukan kesimpulan-kesimpulan yang secara lahiriah mendukung adanya proses pentakwilan semacam itu, atau minimal tidak menolak.” Lanjut, Ibnu Rusyd, karena kenyataan inilah –kaum muslimin berijma’—bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami lafal-lafal syari’at kepada makna lahiriah-lahiriah seluruhnya, atau mencerabut semua lafal dari makna tekstualnya. ( Fash al-Maqâl…..: 33)
Apa yang menyebabkan syari’at itu sendiri mengandung makna lahir (esoterik) dan batin (eksoterik)? Menurut Ibn Rusyd hal itu disebabkan adanya keanekaragaman (pluralitas) kepasitas penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerima (pembuktian) kebenaran. Sedangkan mengapa syari’at sendiri membawa makna-makna tekstualnya yang tampaknya saling bertentangan itu? Hal itu menurutnya karena dimaksudkan untuk menarik perhatian kaum cerdik pandai yang mendalam ilmunya (al-râsyikhûna fî al-`ilm) agar melakukan pentakwilan yang menggabungkan makna-makna tekstual yang tampaknya bertentangan itu.
Lebih lanjut, mengapa disiplin ilmu-ilmu agama, seperti disiplin syari’ah lebih layak untuk dipatuhi prinsip-prinsipnya? Persoalannya lebih karena disiplin tersebut ditujukan untuk mencapai keutamaan-keutamaan dari suatu amal perbuatan, yakni amalan yang baik dan etis, khususnya amalan ibadah. Maka, sisi rasionalitas dari perintah-perintah agama beserta larangan-larangnnya dibangun atas landasan moral keutamaan atau al-fâdlilah.
Prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh bentuk penafsiran semacam takwil di atas tentu adalah “maqâshid al-syâri” (tujuan atau alasan-alasan mendasar pembuat syariat). Prinsip dasar dalam disiplin agama ini serupa dengan yang berlaku dalam disiplin filsafat, yaitu prinsip “kausalitas”. Dan prinsip “maqâshid al-syâri” tergolong dalam aktegori “al-sabab al-qhâ’î” (sebab akhir, final cause) dalam ungkapan falasifah.
Jadi, kalau dimensi rasionalitas disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu metafisika dibangun atas dasar prinsip kausalitas. Maka demikian pula halnya dengan dimensi rasionalitas dalam agama, yakni dibangun atas dasar prinsip “maqâshid al-syâri”. Oleh karena itu, membangun rumusan penalaran dalam agama, termasuk formulasi rasionalismenya, harus berdasar pada “prinsip-prinsip doktrinal”, yang secara gambalng dengan tujuan dan maksud-maksud tertentu, ditujukan oleh pembuat syari’at (Allah dan rasul-Nya) kepada kalangan masyarakat awam.
Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa proyek yang diangkat Ibn Rusyd, khususnya mengenai hubungan antara agama dan filsafat, menawarkan satu pandangan baru yang sama sekali orisinil dan rasional. Dalam arti mampu menangkap dimensi rasionalitas baik dalam agama maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan dan keajekan alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas. Sementara itu, rasionalitas agama juga dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang Pembuat Syari’at, dan yang pada akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan atau al-fâdlilah. Menurut Muhammad Abid al-Jâbirî bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan “maqâshid al-syâri” dalam disiplin ilmu-ilmu agama sebanding dengan gagasan “hukum-hukum kausalitas di alam ini” (Abid al-Jabiri, 2000: 165-166). Prinsip semacam inilah yang kemudian dirujuk oleh al-Syâthibî dalam rasionalisme agama, dan Ibn Khaldûn dalam rasionalisme sejarah.
Kemudian berkenaan dengan kemampuan manusia menanggapi syari’at yang ada dalam kandungan al-Qur’an, Ibn Rusyd membaginya ke dalam tiga kelompok, yaitu awam, pendebat, dan ahli pikr. (Lih. h. 58). Pada kelompok pertama diterapkan metode pembuktian khathâbî ( retorika), pada yang kedua dengan jadalî (dialektik) dan pada kelompok yang ketiga dengan metode burhani (demonstratif). Menurutnya, kepada golongan awam, al-Qur’an tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis, sedangkan kepada golongan pendebat juga sulit untuk disampaikan takwil. Oleh karena itu, takwil harus ditulis hanya dalam buku-buku yang khusus diperuntukkan bagi golongan ahli pikir, agar orang yang bukan ahlinya tidak dapat memahaminya. Ia juga menyetujui pendapat bahwa al-Qur’an mempunyai makna esoterik (bâthin) di samping makna eksoterik (zhâhir) yang umum diketahui. Sebab dalam kenyataannya memang manusia memiliki naluri dan kemampuan yang berbeda-beda. Makna batin hanya dapat diselami oleh ahli pikir dan filsuf, dan tidak dapat dicerna oleh kaum awam
Dalam karyanya, Fash al-Maqâl tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan tambahan penjelasan seputar tiga isu sentral yang menjadi ajang konflik antara para filsuf dengan teolog, atau secara pas, buku ini dijadikan sebagai tambahan jawaban atas karya al-Ghazali yang menyerang dengan mengkafirkan para filsuf terhadap tiga isu sentral ini.
(1). Karena mereka menolak kebangkitan jasmani;
(2) menolak pengetahuan partikular (juz’iyyât) Tuhan; dan
(3) mereka mengklaim bahwa Tuhan lebih dahulu, secara ontologis dan bukan secara kronologis, bukan objek pengetahuan demonstratif.
Dalam pandangan Arkoun, para filsuf salah ketika mencoba memperlakukannya sebagai masalah-masalah pengetahuan yang demonstratif, yang sebenarnya bergantung pada kepercayaan. Sementara Ibnu Rusyd menggunakan metodologi ushûl al-fiqh untuk memecahkan persoalan filosofis; bahkan formulasi persoalannya pun pada permulaan fashl, secara khas bersifat yuridis. Ini tak berarti al-Ghazali telah memilih cara yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut.
Karya karya ibnu rusyd dalam filsafat
1.Tahafatul-Tahafut.
2.Risalah fi  Ta’alluqi ‘Ilmillahi ‘an ‘andami Ta’alluqihi bil-juziyat.
3.Tafsiru ma ba,dath-Thabiat.
4.Fashlul-Maqal fi ma Bainal-himaah wasy-Syirah Minal-Ittishal.
5.Al-Kasyfu ‘an Manahjil ‘Adilag fi ‘aqaidi Ahli Millah.
6.Naqdu Nadhrariyat Ibnu Sina ‘Anil-Mukmin Lidzatihi wal-Mukmin Ligharihi.
7.Risalah fil-wujudil-Azali wal-Wajudil-Muaqqat.
8.Risalah fil-Aqli wal-Ma’quili.

read more “ibnu rusyd”