note : BUNGLON_08: ibnu rusyd

ibnu rusyd


Biografi Ibnu Rusyd
Nama lengkap beliau adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, kelahiran Kordoba pada tahun 520 H, berasal dari kalangan keluarga yang terkenal keutamaannya dalam lapangan hukum Islam dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalus. Ayahnya adalah seorang hakim, dan datuknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd Al-Jadd adalah Kepala Hakim di Kordoba. Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi dalam studi-studi keislaman. Al Qur’an beserta penafsirannya, Hadits Nabi, Ilmu Fiqh, Bahasa dan Sastra Arab dipelajarinya dari para alim di zamannya. Dia mempelajari al-Muwattha’ langsung dari ayahnya dan menghapalnya. Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika dan filsafat serta ilmu pengobatan .

Karirnya dalam filsafat diraihnya melalui pergaulan dan belajarnya dari Ibnu Thufail yang membawanya dekat dengan Khalifah Abu Yusuf al-Mansur, yang kemudian memintanya untuk menuliskan ulasan-ulasan terhadap pemikiran-pemikiran Aristoteles. Tugas ini dikerjakannya selam beberapa tahun dan menjadikannya Pengulas Ulung terhadap karya-karya Aristoteles. Untuk itu, dia memperoleh julukan Al-Syarih (The Commentator).

Di akhir hayatnya, Ibnu Rusyd mengalami cobaan berat. Para ahli fiqh yang bekerja di istana khalifah memfitnahnya sehingga khalifah marah dan membuangnya ke Alesana (Lucenna), sebuah kota dekat Kordoba. Setelah bebas dari pembuangan, ia pindah ke Maroko dan wafat tahun 595

Pemikiran Ibnu Rusyd
  1. Agama dan Filsafat
Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi Al-Ghazali terhadap pemikiran mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang diantaranya dapat digolongkan sebagai pemikiran sesat dan kufur.
Terhadap reaksi dan sanggahan tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran mereka serta membenarkan kesesuain ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan imam Ghazali dengan argumen-argumen yang tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya.
Menurut Ibnu Rusyd, Syara’ tidak bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu pada hakikatnya tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya pencipta. Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang untuk mempergunakan akalnya, seperti yang jelas dalam irman Allah : “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar)tentang kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-Araf: 185) dan firman Allah suiarah Al-Hasyr: 2 yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil Itibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”. Bernalar dan ber’itibar hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan kias akali, karena yang dimaksud dengan I’tibar itui tiadak lain dari mengambil sesuatu yang belum diktahui dari apa yang belum diketahui.
Qyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib mempelajari kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah. Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.
Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.
Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.
Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi kufur.
Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.
Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing atau simbolm bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.
  1. Metafisika
a. Dalil wujud Allah
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.
b. Dalil ‘inayah (pemeliharan)
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana.
c. Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.

d. Dalil Gerak.
Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya.
Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
e. Sifat-sifat Allah.
Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
  1. Fisika
a. Materi dan forma
Seperti dalam halnya metafisika, ibnu rusyd juga di juga di pengaruhi oleh Aristoteles dalam fisika. Dalam reori Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (maujud) yang mengalami perubahan seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika adalah materi dan forma.
Menurut Ibn Rusyd, bahwa segala sesuatu yang berada di bawah alam falk terdiri atas materi dan forma. Materi adalah sesuatu yang darinya ia ada, sedangkan forma adalah sesuatu yang dengannya ia menjadi ada setelah tidak ada.
b. Sifat-sifat jisim.
Adapun sifat-sifat jisim ada empat macam, yaitu:
Ø Gerak
Ø Diam
Ø Zaman
Ø Ruang
c. Bangunan alam.
Para filosof klasik mengatakan, bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga gerak melingkar merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi azali. Dengan sebab gerak ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar. Karena jisim-jisim ini bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu planit yang bergerak melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga tidak ada kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri dari jisim-jisim samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari percampuran emoat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah benda-benda padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.
  1. Manusia
Dalam masalah manusia, Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsure materi dan forma.. jasad adalah materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yangmerupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari anggota-anggota. Untuk menjelaskan kesempurnaan jiwa tersebut, Ibnu Rusyd mengkaji jenis-jenis jiwa yang menurutnya ada lima:
· Jiwa Nabati
· Jiwa perasa
· Jiwa khayal
· Jiwa berfikir
· Jiwa kecendrungan

  1. Kenabian dan Mu’jizat
Allah menyampaikan wahyu kepada umat manusia melalui rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa orang itu Rasul Allah, ia harus membawa tanda yang berasal darinya, dan tanda ini disebut mukjizat. Pada seorang rasul, mukzizat itu meliputi dua hal yang berhubungan dengan ilmu dan yang berhubungan dengan amal. Dalam hal yang pertama, rasul itu memberitahukan jenis-jenis ilmu dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim diketahui oleh manusia. Suatu hal yang diluar kebiasaan pengetahuan manusia, sehingga ia tidak dapat mengetahuinya adalah bukti bahwa orang yang membawanya adalah rasul yang menerima wahyu dari Allah, bukan dari dirinya.
Ringkasnya Ibnu Rusyd membedakan dua jenis mukjizat: mukjizat ekstern yang tidak sejalan dengan sifat dan tugas kerasulan, seperti menyembuhkan penyakit, membelah bulan dan sebagainya. Dan mukjizat intern yang sejalan dangan sifat dan tugas kerasulan yang membawa syariat untuk kebahagiaan umat manuisia. Mukjizat yangpertama yang berfungsi sebagai penguat sebagai kerasulan. Sedangkan yang kedua sebagai bukti yang kuat tentang kerasulan yang hakiki dan merupakan jalan keimanan bagi para ulama dan orang awamsesuai dengan kesanggupan akal masing-masing.
  1. Politik dan Akhlak
Seperti yang telah disebut oleh plato, Ibnu Rusyd mengatkan, sebagai makhluk social, manusia perlu kepada pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan kepala pemerintah dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya dalam dunia filsafat, dimana ia telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan islam pada awalnya menurut Ibnu rusyd adalah sangat sesuai dengan teorinya tentang revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah muawwiyah yang mengalihkan pemerintahan menjadi otoriter.
Dalam pelaksanaan kekuasaan hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan sendinya yang esensial. Hal ini karena adil itu adalah produk ma;rifat, sedangkan kezaliman adalah produk kejahilan.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi kepada hakim dan dokter karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih dan tidak berrkurang.hal ini karena keutamaan itu sendiri mengandung dalam dirinya keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban.
Khusus tentang wanita , Ibnu rusyd sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara. Pada hakikatnya, anita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan. Dan jikapun ada, maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang saja. Dan jika dalam kerja, ia dibawa tingkat pria, tetapi iamelebihinya dalam bidang seni, seperti music. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan maju, selama tidak membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang membelenggu kebebasannya.
Pendapat ibnu rusyd tentang alam
Menurut, Ibnu Rusyd, terjadinya perbedaan pendapat tentang alam itu qodim atau ihdats d disebabkan karena perbedaan kaum teolog muslim dan fiolosof muslim dalam mengartikan kata al-ihdats dan qodim. Bagi teolog muslim, al-ihdats berarti menciptakan dari tiada sedangkan qodim berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab. Sedangkan bagi filosof muslim, kata al-ihdats berarti mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain, sedang kata qodim berarti sesuatu yang kejadiaannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir.
Dalam Fashal al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan perselisihan mereka tentang alam hanyalah
perselisihan dari segi semantic atau penamaan. Segala hal yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis :
a)Wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan arti wujudnya Pencipta dan diciptakan dari benda dan didahului oleh zaman.
b)Wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman.
c)Wujudnya karena sesuatu dan tidak berasal dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman.

Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’

Menurut Ibnu Rusyd, persesuaian dan perpaduan antar agama dan filsafat sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting dari filsafat Islam. Cara yang digunakan oleh Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius.

Dalam Fashl al-Maqaal, Ibnu Rusyd mengawali pembahasaannya dengan keharusan berfilsafat menurut Syara’. Menurut Ibnu Rusyd, filsafat berfungsi untuk mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya. Qur’an berkali-kali memerintahkan hal yang demikian, diantaranya dalam surat Al-A’raaf ayat 185 dan surat Al-Hasyr ayat 2 yang mengandung perintah i’tibar dan nazhar. Kedua ayat tersebut secara tegas memerintahkan untuk mengambil qiyas aqli atau qiyas aqli dan qiyas syar’i bersama-sama. I’tibar dan nazhar yang dimaksudkan dalam kedua ayat tersebut tidak lain adalah pengambilan sesuatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari sesuatu yang telah diketahui (ma’lum). Ini berarti, penyelidikan alam wujud tidak bisa tidak, mesti menggunakan qiyas aqli. Karena itu, penyelidikan yang bersifat filosofi menjadi suatu kewajiban.

Argumentasi Ibnu Rusyd tersebut, dapat dipahami secara logika, dengan mengikuti premis–premis yang disusun oleh Al-‘Iraqiy sebagai berikut : :

Premis minor  :
Penyelidikan filsafat secara nazhari aqli di alam ini bertujuan untuk mencapai ma’rifah kepada pembuatnya, yaitu Allah.

Premis mayor  :
Agama memerintahkan dan mewajibkan manusia untuk memperhatikan dan memikirkan penciptaan di alam ini agar manusia mengenal Tuhannya (Allah)

Konklusi :
Pengkajian filsafat dalam kerangka diatas adalah kewajiban, sepanjang kemampuan, yaitu dengan metode burhan (demontrasi)

Kalau seorang faqih berdasarkan ayat tersebut menetapkan adanya qiyas syar’i, maka berdasarkan ayat tersebut pula seorang filosof lebih berhak lagi untuk menetapkan adanya qiyas aqli. Bila dikatakan qiyas aqli adalah sebuah bid’ah, maka demikian pula halnya dengan qiyas syar’i, karena keduanya tidak terdapat pada masa permulaan Islam. Kalau pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh Syara’ maka seorang ahli pikir harus mempelajari logika dan filsafat. Untuk itu, karena filsafat telah berkembang sebelumnya dengan tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, maka mempelajari pemikiran para filosof terdahulu tersebut adalah suatu keniscayaan. Tidaklah mungkin bagi orang-orang yang datang kemudian membangun filsafat yang baru sama sekali dengan meninggalkan pemikiran-pemikiran filsafat yang telah berkembang sebelumnya.

Kritik Terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas, bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
1. Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
2. Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
3. Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran.
1. Harmonisasi agama dan filsafat
Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat. Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.
2. Qadimnya alam
Tentang qadimnya alam atau dalam bahasa filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua, lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh ­al-Qadim. Inilah alam keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats pula.
Makna – makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti kadim. Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd mengutip penjelasan al-Quran, surat Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat wujud sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan bentuk wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini Ibnu Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran. Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada, justeru tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.
3. Gambaran kebangkitan di akhirat
Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filsuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filsuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justeru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.
4. Pengetahuan Tuhan
Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’I yang terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’a tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahu yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya. Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’I tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’I berwujud seperti wujud saat ini.
Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya.
5. Kesalahan Al-Ghazali
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali atas kedua failasuf tidaklah definitif. Karena dalam bukunya “At-Tafriqah” bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam persoalan seperti ini, persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung pada kemampuan kias rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa dilakukan oleh kaum rashikhun fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’ yang meyeluruh dalam bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah bahwa orang-orang berselisih pendapat dalam persoalan yang pelik tersebut berhak mendapat pahala jika mereka benar, tetapi bisa dimaafkan jika mereka salah.
Kesalahan yang bisa dimaafkan demikian hanyalah kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan kaum yang dikaruniai pengetahuan khusus mengetahui takwil ketika mereka mempelajari persoalan-persoalan rumit yang diperintah syara’ untuk mempelajarinya. Adapun kesalahan oleh orang-orang selain kelompok ini, adalah dosa. Maka bagi kaum burhani ini melakukan takwil terhadap ajaran-ajaran yang memberi petunjuk untuk itu harus dilakukan, sebaliknya umat kebanyakan hanya diperintah mengambil makna lahir ayat, jika tidak akan menyebabkan kekafiran pada masing-masing mereka. Oleh sebab itu, larangan Al-Ghazali – terhadap semua orang – dalam melakukan kias rasional seperti dilakukan para filsuf dan filsafat mereka tidak tepat, karena bertentangan ajaran al-Quran.
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syari’ah
Salah satu pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama”. Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (at-tâmm al-ma`rifah).
Mengenai hal ini dituangkan dalam buku kecilnya yang berjudul Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (Kaitan filsafat dengan Syariat) ini menjelaskan tentang harmonitas antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan akhir (ghâyah) (Fasl al-Maqal, 1968: 58).
Menurutnya , belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adaya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl. Takwîl ini lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).
Apa itu takwîl? Takwîl menurut Ibn Rusyd adalah makna yang dimunculkan dari pengetahuan suatu lafal yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riil) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat majaz (metafor) ( Fash al-Maqâl…..: 32). Takwîl yang dimaksudkan Ibn Rusyd adalah pengambilan makna esoterik atau makna substansial yang dikandung oleh teks (lafal), jadi bukan mengambil makna eksoterik atau makna tekstual lafal tersebut.
Dalam hal ini, yang perlu digarisbawahi adalah perkataan Ibn Rusyd, bahwa, “…Capaian apapun yang dihasilkan oleh metode burhan tapi bertentangan dengan makna lahir teks-teks syariat, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan menurut aturan main pentakwilan bahasa Arab yang ada.” Juga pernyataannya, bahwa “…makna lahir apapun juga yang terdapat pada teks syari’at yang secara lahiriah bertentangan dengan susatu makna yang disimpulkan oleh metode burhan kemudian makna lahir syari’at itu diteliti dan ditelaah semua bagian dan partikelnya, pada teks-teks syari’at itu sendiri akan dapat ditemukan kesimpulan-kesimpulan yang secara lahiriah mendukung adanya proses pentakwilan semacam itu, atau minimal tidak menolak.” Lanjut, Ibnu Rusyd, karena kenyataan inilah –kaum muslimin berijma’—bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami lafal-lafal syari’at kepada makna lahiriah-lahiriah seluruhnya, atau mencerabut semua lafal dari makna tekstualnya. ( Fash al-Maqâl…..: 33)
Apa yang menyebabkan syari’at itu sendiri mengandung makna lahir (esoterik) dan batin (eksoterik)? Menurut Ibn Rusyd hal itu disebabkan adanya keanekaragaman (pluralitas) kepasitas penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerima (pembuktian) kebenaran. Sedangkan mengapa syari’at sendiri membawa makna-makna tekstualnya yang tampaknya saling bertentangan itu? Hal itu menurutnya karena dimaksudkan untuk menarik perhatian kaum cerdik pandai yang mendalam ilmunya (al-râsyikhûna fî al-`ilm) agar melakukan pentakwilan yang menggabungkan makna-makna tekstual yang tampaknya bertentangan itu.
Lebih lanjut, mengapa disiplin ilmu-ilmu agama, seperti disiplin syari’ah lebih layak untuk dipatuhi prinsip-prinsipnya? Persoalannya lebih karena disiplin tersebut ditujukan untuk mencapai keutamaan-keutamaan dari suatu amal perbuatan, yakni amalan yang baik dan etis, khususnya amalan ibadah. Maka, sisi rasionalitas dari perintah-perintah agama beserta larangan-larangnnya dibangun atas landasan moral keutamaan atau al-fâdlilah.
Prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh bentuk penafsiran semacam takwil di atas tentu adalah “maqâshid al-syâri” (tujuan atau alasan-alasan mendasar pembuat syariat). Prinsip dasar dalam disiplin agama ini serupa dengan yang berlaku dalam disiplin filsafat, yaitu prinsip “kausalitas”. Dan prinsip “maqâshid al-syâri” tergolong dalam aktegori “al-sabab al-qhâ’î” (sebab akhir, final cause) dalam ungkapan falasifah.
Jadi, kalau dimensi rasionalitas disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu metafisika dibangun atas dasar prinsip kausalitas. Maka demikian pula halnya dengan dimensi rasionalitas dalam agama, yakni dibangun atas dasar prinsip “maqâshid al-syâri”. Oleh karena itu, membangun rumusan penalaran dalam agama, termasuk formulasi rasionalismenya, harus berdasar pada “prinsip-prinsip doktrinal”, yang secara gambalng dengan tujuan dan maksud-maksud tertentu, ditujukan oleh pembuat syari’at (Allah dan rasul-Nya) kepada kalangan masyarakat awam.
Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa proyek yang diangkat Ibn Rusyd, khususnya mengenai hubungan antara agama dan filsafat, menawarkan satu pandangan baru yang sama sekali orisinil dan rasional. Dalam arti mampu menangkap dimensi rasionalitas baik dalam agama maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan dan keajekan alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas. Sementara itu, rasionalitas agama juga dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang Pembuat Syari’at, dan yang pada akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan atau al-fâdlilah. Menurut Muhammad Abid al-Jâbirî bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan “maqâshid al-syâri” dalam disiplin ilmu-ilmu agama sebanding dengan gagasan “hukum-hukum kausalitas di alam ini” (Abid al-Jabiri, 2000: 165-166). Prinsip semacam inilah yang kemudian dirujuk oleh al-Syâthibî dalam rasionalisme agama, dan Ibn Khaldûn dalam rasionalisme sejarah.
Kemudian berkenaan dengan kemampuan manusia menanggapi syari’at yang ada dalam kandungan al-Qur’an, Ibn Rusyd membaginya ke dalam tiga kelompok, yaitu awam, pendebat, dan ahli pikr. (Lih. h. 58). Pada kelompok pertama diterapkan metode pembuktian khathâbî ( retorika), pada yang kedua dengan jadalî (dialektik) dan pada kelompok yang ketiga dengan metode burhani (demonstratif). Menurutnya, kepada golongan awam, al-Qur’an tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis, sedangkan kepada golongan pendebat juga sulit untuk disampaikan takwil. Oleh karena itu, takwil harus ditulis hanya dalam buku-buku yang khusus diperuntukkan bagi golongan ahli pikir, agar orang yang bukan ahlinya tidak dapat memahaminya. Ia juga menyetujui pendapat bahwa al-Qur’an mempunyai makna esoterik (bâthin) di samping makna eksoterik (zhâhir) yang umum diketahui. Sebab dalam kenyataannya memang manusia memiliki naluri dan kemampuan yang berbeda-beda. Makna batin hanya dapat diselami oleh ahli pikir dan filsuf, dan tidak dapat dicerna oleh kaum awam
Dalam karyanya, Fash al-Maqâl tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan tambahan penjelasan seputar tiga isu sentral yang menjadi ajang konflik antara para filsuf dengan teolog, atau secara pas, buku ini dijadikan sebagai tambahan jawaban atas karya al-Ghazali yang menyerang dengan mengkafirkan para filsuf terhadap tiga isu sentral ini.
(1). Karena mereka menolak kebangkitan jasmani;
(2) menolak pengetahuan partikular (juz’iyyât) Tuhan; dan
(3) mereka mengklaim bahwa Tuhan lebih dahulu, secara ontologis dan bukan secara kronologis, bukan objek pengetahuan demonstratif.
Dalam pandangan Arkoun, para filsuf salah ketika mencoba memperlakukannya sebagai masalah-masalah pengetahuan yang demonstratif, yang sebenarnya bergantung pada kepercayaan. Sementara Ibnu Rusyd menggunakan metodologi ushûl al-fiqh untuk memecahkan persoalan filosofis; bahkan formulasi persoalannya pun pada permulaan fashl, secara khas bersifat yuridis. Ini tak berarti al-Ghazali telah memilih cara yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut.
Karya karya ibnu rusyd dalam filsafat
1.Tahafatul-Tahafut.
2.Risalah fi  Ta’alluqi ‘Ilmillahi ‘an ‘andami Ta’alluqihi bil-juziyat.
3.Tafsiru ma ba,dath-Thabiat.
4.Fashlul-Maqal fi ma Bainal-himaah wasy-Syirah Minal-Ittishal.
5.Al-Kasyfu ‘an Manahjil ‘Adilag fi ‘aqaidi Ahli Millah.
6.Naqdu Nadhrariyat Ibnu Sina ‘Anil-Mukmin Lidzatihi wal-Mukmin Ligharihi.
7.Risalah fil-wujudil-Azali wal-Wajudil-Muaqqat.
8.Risalah fil-Aqli wal-Ma’quili.

0 Response to "ibnu rusyd"

Posting Komentar